Tuesday 4 March 2014

TEORI SEBAB DAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN



TEORI SEBAB KEJAHATAN
Adapun beberapa teori-teori tentang sebab-sbab terjadinya kejahatan, yaitu :
1)      Teori lingkungan
Mazhab ini dipelopori A. Lacassagne. dalam teori sebab-sebab terjadinya kejahatan yang mendasarkan diri pada pemikiran bahwa “dunia lebih bertanggung jawab atas jadinya diri sendiri”.[1]
Teori ini merupakan reaksi terhadap teori antropologi dan mengatakan bahwa lingkunganlah yang merupakan faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan kejahatan. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut adalah :
1.      Lingkungan yang memberi kesempatan untuk melakukan kejahatan;
2.      Lingkungan pergaulan yang memberi contoh dan teladan;
3.      Lingkungan ekonomi, kemiskinan dan kesengsaraan;

2)      Lingkungan pergaulan yang berbeda-beda.[2]
Jadi, selian dari faktor internal (yang berasal dari diri pribadi), fakto eksternal yaitu lingkungan mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan kejahatan yang bisa terjadi, seperti apa yang dinyatakan oleh W.A. Bonger yaitu “Pengaruh lingkungan sangat berpengaruh dalam menentukan kepribadian seseorang, apakah ia akan menjadi orang jahat atau baik.”

3)      Teori Kontrol Sosial
Pendapat mengenai kontrol sosial dikemukakan oleh Reiss yang mengatakan bahwa :
Ada tiga komponen dari kontrol sosial yaitu kurangnya kontrol internal yang wajar selama masih anak-anak, hilangnya kontrol tersebut dan tidak adanya norma-norma sosial atau konflik norma-norma yang dimaksud. Ada dua macam kontrol yaitu personal kontrol dan sosial kontrol. Personal kontrol (internal kontrol) adalah kemampuan seseorang untuk menahan diri agar seseorang tidak mencapai kebutuhannya dengan cara melanggar norma yang berlaku dalam masyarakat. Sedangkan Kontrol Sosial (eksternal kontrol adalah kemampuan kelompok sosial atau lembaga dalam masyarakat untuk melaksanakan norma-norma atau peraturan menjadi efektif.[3]
Kontrol sosial baik personal kontrol maupun sosial kontrol menentukan seseorang dapat melakukan kejahatan atau tidak, karena pada keluarga atau masyarakat yang mempunyai sosial kontrol yang disiplin maka kemungkinan terjadinya suatu kejahatan akan kecil, begitu juga sebaliknya, suatu keluarga atau masyarakat yang tidak mempunyai kontrol yang kuat maka kejahatan bisa saja mudah terjadi akibat dari tidak disiplinnya suatu kontrol tersebut.

4)      Teori Spiritualisme
Menurut teori ini sebab terjadinya kejahatan dapat dilihat dair sudut kerohanian dan keagamaan, karena sebab terjadinya kejahatan adalah tidak beragamanya seseorang. Oleh karena itu, semakin jauh hubungan seseorang dengan agama seseorang maka semakin besar kemungkinan seseorang untuk melakukan kejahatan dan sebaliknya, semakin dekat seseorang dengan agamanya maka semakin takut orang tersebut untuk melakukan hal-hal yang menjurus kepada kejahatan.

5)      Teori Multi Faktor
Teori ini sangat berbeda dengan teori-teori sebelumnya dalam memberi tanggapan terhadap kejahatan dengan berpendapat sebagai berikut: “Penyebabnya terjadi kejahatan tidak ditentukan oleh satu atau dua faktor yang menjadi penyebab kejahatan”.
Jadi, menurut teori ini, penyebab terjadinya kejahatan tidak ditentukan hanya dari dua teori saja, tetapi dapat lebih dari itu.
Dalam hal penanggulangan kejahatan, maka perlu dilakukan usaha-usaha pencegahan sebelum terjadinya kejahatan serta memperbaiki pelaku yang telah diputuskan bersalah mengenai pengenaan hukuman. Dari usaha-usaha tersebut sebenarnya yang lebih baik adalah usaha mencegah sebelum terjadinya kejahatan daripada memperbaiki pelaku yang telah melakukan kejahatan.
Menurut Soedjono D mengatakan bahwa dapat dilakukan usaha-usaha sebagai berikut :
“Preventif kejahatan dalam arti luas, meliputi tindakan preventif dan represif. Bertolak pada pemikiran bahwa usaha penanggulangan kejahatan remaja merupakan langkah utama bagi penanggulangan kejahatan secara umum”.
a.       Penanggulangan yang terarah harus meliputi tindakan preventif dan rehabilitas sosial.
b.      Usaha penanggulangan kejahatan yagn sebaik-baiknya harus meliputi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
1.      Sistem dan organisasi kepolisian yang baik;
2.      Peradilan yang objektif;
3.      Hukum dan perundang-undangan yang wibawa;
4.      Koordinasi antara penegak hukum dan aparat pemerintah yang serasi;
5.      Pembinaan organisasi kemasyarakatan;
6.      Partisipasi masyarakat;

Pengawasan dan kesiagaan terhadap kemungkinan timbulnyanya kejahatan.[4]
Penanggulangan kejahatan kalau diartikan secara luas akan banyak pihak yang terlibat didalamnya antara lain adalah pembentuk undang-undang, kejaksaan, pamong praja dan aparat eksekusi serta orang biasa.[5]
Hal ini sesuai dengan pendapat Soejono D. yang merumuskan sebagai berikut :
Kejahatan sebagai perbuatan yang sangat merugikan masyarakat dilakukan oleh anggota masyarakat itu juga, maka masyarakat juga dibebankan kewajiban demi keselamatan dan ketertibannya, masyarakat secara keseluruhan ikut bersama-sama badan yang berwenang menanggulangi kejahatan.[6]
Berdasarkan uraian di atas maka usaha-usaha untuk menanggulangi dan mencegah terjadinya kejahatan, maka kepada masyarakat juga di bebankan untuk turut serta bersama-sama aparat penegak hukum guna menanggulangi kejahatan semaksimal mungkin.

            TEORI PENANGGULANGAN KEJAHATAN
Dalam usaha untuk menanggulangi kejahatan mempunyai dua cara yaitu preventif (mencegah sebelum terjadinya kejahatan) dan tindakan represif
(usaha sesudah terjadinya kejahatan). Berikut ini diuraikan pula masing-masing
usaha tersebut :
1.      Tindakan Preventif
Tindakan preventif adalah tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau menjaga kemungkinan akan terjadinya kejahatan.
Menurut A. Qirom Samsudin M, dalam kaitannya untuk melakukan tindakan preventif adalah mencegah kejahatan lebih baik daripada mendidik penjahat menjadi baik kembali, sebab bukan saja diperhitungkan segi biaya, tapi usaha ini lebih mudah dan akan mendapat hasil yang memuaskan atau mencapai tujuan.[7]
Selanjutnya Bonger berpendapat cara menanggulangi kejahatan yang terpenting adalah :
1)      Preventif kejahatan dalam arti luas, meliputi reformasi dan prevensi dalam arti sempit;
2)      Prevensi kejahatan dalam arti sempit meliputi :
a.       Moralistik yaitu menyebarluaskan sarana-sarana yang dapat memperteguhkan moral seseorang agar dapat terhindar dari nafsu
berbuat jahat.
b.      Abalionistik yaitu berusaha mencegah tumbuhnya keinginan kejahatan dan meniadakan faktor-faktor yang terkenal sebagai penyebab timbulnya kejahatan, Misalnya memperbaiki ekonmi (pengangguran, kelaparan, mempertinggi peradapan, dan lain-lain);
3)      Berusaha melakukan pengawasan dan pengontrolan terhadap kejahatan dengan berusaha menciptakan;
a.       Sistem organisasi dan perlengkapan kepolisian yang baik,
b.      Sistem peradilan yang objektif
c.       Hukum (perundang-undangan) yang baik.
4)      Mencegah kejahatan dengan pengawasan dan patrol yang teratur;
5)      Pervensi kenakalan anak-anak sebagai sarana pokok dalam usahah prevensi kejahatan pada umumnya.[8]

2.      Tindakan Represif
Tindakan represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum sesudah terjadinya tindakan pidana.[9]
Tindakan respresif lebih dititikberatkan terhadap orang yang melakukan tindak pidana, yaitu antara lain dengan memberikan hukum (pidana) yang setimpal atas perbuatannya.
Tindakan ini sebenarnya dapat juga dipandang sebagai pencegahan untuk masa yang akan datang. Tindakan ini meliputi cara aparat penegak hukum dalam melakukan penyidikan, penyidikan lanjutan, penuntutan pidana, pemeriksaan di pengadilan, eksekusi dan seterusnya sampai pembinaan narapidana.
Penangulangan kejahatan secara represif ini dilakukan juga dengan tekhnik rehabilitas, menurut Cressey terdapat dua konsepsi mengenai cara atau tekhnik rehabilitasi, yaitu :
1.      Menciptakan sistem program yang bertujuan untuk menghukum penjahat, sistem ini bersifat memperbaiki antara lain hukuman bersyarat dan hukuman kurungan.
2.      Lebih ditekankan pada usaha agar penjahat dapat berubah menjadi orang biasa, selama menjalankan hukuman dicarikan pekerjaan bagi terhukum dan konsultasi psikologis, diberikan kursus keterampilan agar kelak menyesuaikan diri dengan masyarakat.[10]

Tindakan represif juga disebutkan sebagai pencegahan khusus, yaitu suatu usaha untuk menekankan jumlah kejahatan dengan memberikan hukuman (pidana) terhadap pelaku kejahatan dan berusaha pula melakukan perbuatan denganjalan memperbaiki si pelaku yang berbuat kejahatan. Jadi lembaga permasyarakatan bukan hanya tempat untuk mendidik narapidana untuk tidak lagi menjadi jahat atau melakukan kejahatan yang pernah dilakukan.
Kemudian upaya penanggulangan kejahatan yang sebaik-baiknya harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
(1)   Sistem dan operasi Kepolisian yang baik.
(2)   Peradilan yang efektif.
(3)   Hukum dan perundang-undangan yang berwibawa.
(4)   Koodinasi antar penegak hukum dan aparatur pemerintah yang serasi.
(5)   Partisipasi masyarakat dalam penangulangan kejahatan.
(6)   Pengawasan dan kesiagaan terhadpa kemungkinan timbulnya kejahatan.
(7)   Pembinaan organisasi kemasyarakatan.[11]

Pokok-pokok usaha penanggulangan kejahatan sebagaimana tersebut diatas merupakan serangkaian upaya atau kegiatan yagn dilakukan oleh Polisi dalam rangka menanggulangi kejahatan, termasuk tindak pidana perjudian.




[1] Soejono, D.. Doktrin-doktrin krimonologi, Alumni, Bandung, 1973, Hal. 42.
[2] Soejono, D., Penanggulangan Kejahatan (Crime Prevention), Alumni, Bandung, 1976, Hal. 42.
[3] Romli atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Tarsito, Bandung, 1992, Hal. 32.
[4] Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1985, Hal. 61.
[5] Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, Hal. 113
[6] Soedjono D, Penanggulangan Kejahatan (Crime Prevention), Alumni, Bandung, 1976, Hal. 31
[7] A. Qirom Samsudin M, Sumaryo E., Kejahatan Anak Suatu Tinjauan Dari Segi Psikologis dan Hukum, Liberti, Yogyakarta, 1985, hal. 46
[8] Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, PT. Pembangunan Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hal. 15
[9] Soejono D, Op. Cit, hal. 32
[10] Simanjuntak B dan Chairil Ali, Cakrawala Baru Kriminologi, Trasito, Bandung, 1980, hal. 399.
[11] Soedjono, D, Op. Cit, hal. 45.

No comments:

Post a Comment